Rasulullah bergaul dengan semua orang. Beliau bergaul dengan berbagai strata sosial, baik kalangan bawah seperti budak, pengemis, anak-anak; maupun kalangan atas seperti pengusaha dan para tokoh.
Jika bergaul Rasulullah dapat menyesuaikan dengan lawan bicaranya dan memperhatikan bagaimana karateristik lawan bicaranya. Beliau juga bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda gurau dengan orang tua. Akan tetapi beliau tidak berkata kecuali yang benar saja.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi bahwa, suatu hari ada seorang perempuan datang kepada beliau lalu berkata, “Ya Rasulullah, naikkan saya ke atas unta”.
“Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta.” kata Rasulullah.“Ia tidak mampu.” kata perempuan itu.
“Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta.
“Ia tidak mampu”.
Rasulullah menjawab, “Aku tidak bilang anak unta itu masih kecil, yang jelas dia adalah anak unta. Tidak mungkin seekor anak unta lahir dari ibu selain unta.” Para sahabat yang ada disitu tersenyum dan ia pun mengerti gurau Rasulullah.
Datang seorang perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah, “Ya Rasulullah, suamiku jatuh sakit. Dia memanggilmu”.
“Semoga suamimu yang dalam matanya putih.” kata Rasulullah.
Perempuan itu kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya dengan keheranan, “kenapa kamu ini?”
“Rasulullah memberitahu bahwa dalam matamu putih.” kata istrinya menerangkan.
“Bukankah semua mata ada warna putih?” kata suaminya.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa seorang perempuan tua berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam surga.”
“Wahai Ummi Fulan, surga tidak dimasuki oleh orang tua.”
Perempuan itu lalu menangis.
Rasulullah menjelaskan, “tidakkah kamu membaca firman Allah ini, ‘Serta kami telah menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya’ (QS. Al Waqi’ah: 35-37).
Para sahabat Rasulullah suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagai gunung yang teguh. Na’im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata-kata dan melihat gelagatnya, Rasulullah turut tersenyum.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas, bahwa seorang sahabat bernama Zahir, dia agak lemah daya pikirannya. Namun Rasulullah mencintainya. Zahir ini sering menyendiri menghabiskan hari-harinya di gurun pasir. Sehingga, kata Rasulullah, “Zahir ini adalah lelaki padang pasir, dan kita semua tinggal di kotanya”.
Suatu hari ketika Rasulullah sedang ke pasar, dia melihat Zahir sedang berdiri melihat barang-barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah memeluk Zahir dari belakang dengan erat. “Heii……siapa ini? lepaskan aku!” Zahir memberontak dan menoleh ke belakang, ternyata yang memeluknya Rasulullah.
Zahir pun segera menyandarkan tubuhnya dan lebih mengeratkan pelukan Rasulullah. Rasulullah berkata, “Wahai umat manusia, siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir menjawab, “Ya Rasulullah, aku ini tidak bernilai di pandangan mereka” “Tapi di pandangan Allah, engkau sungguh bernilai Zahir.” kata Rasulullah.
Mau dibeli Allah atau dibeli manusia?” Zahir pun makin mengeratkan tubuhnya dan merasa damai di pelukan Rasulullah.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah juga pernah bersabda kepada ‘Asiyah, “Aku tahu saat kamu senang kepadaku dan saat kamu marah kepadaku.” Aisyah bertanya, “Dari mana engkau mengetahuinya?” Beliau menjawab, ” Kalau engkau sedang senang kepadaku, engkau akan mengatakan dalam sumpahmu “Tidak demi Tuhan Muhammad.”
Akan tetapi jika engkau sedang marah, engkau akan bersumpah, “Tidak demi Tuhan Ibrahim!”. Aisyah pun menjawab, “Benar, tapi demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak akan meninggalkan, kecuali namamu saja.”
Maha Suci Allah… Ketika itu, Rasulullah adalah seorang rasul, pemimpin umat dan pemimpin negara, tetapi cara bergaul atau bersosialnya tidak berubah hanya karena kedudukan.
Beliau bergaul sebagaimana sifat orang ‘jelata’ ketika berbicara dengan orang ‘jelata’, sebagaimana seorang ayah ketika bergaul dengan anak, sebagaimana seorang anak ketika bergaul dengan orang tua, sebagaimana seorang panglima ketika berjihad di jalan Allah, dan sebagainya.
Dengan kata lain, dalam hal aplikasi pergaulan ini beliau adalah seorang ‘Maha Profesor Psikologi’ dan ‘Maha Profesor Sosiologi’ secara bersamaan.